Featured Video

Kamis, 23 Juni 2011

Mungkinkah ? Bila Negara tanpa Partai Politik

Demokratia (kekuasaan rakyat) lahir menyusul revolusi rakyat di Yunani pada tahun 508 SM. Adalah benar dan banyak orang tau. Tetapi, pengalihan dan pengaburan dari demokrasi sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa kepada demokrasi dengan system kepartai yang berkedok suara rakyat, dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya, jarang orang tau.
          Bagaimana pun juga, filsafah pembentukan partai politik (parpol) didunia timur lebih menjiwai  demokrasi murni ala Yunani. Misalnya : Kuomintang (partai nasional cina) yang didirikan oleh Sun Yat-sen tahun 1894, bertujuan untuk melawan kekaisaran Qing  dan sekaligus mendirikan Republik cina demi terwujudnya pembaruan. Barulah kemudian dibentuk Partai Komunis Cina oleh Mao Zedong tahun 1921, sekaligus menduniakan Komunisme versi cina. Demikian pula parpol “Kongres Nasional India” India National Congres (INC) yang didirikan tahun 1885, bangkit dan menyatukan langkah melawan kuasa British di india.
          Sebaliknya, “Wigs” dan “Tory” (sekarang Partai konservatif) adalah dua parpol pertama didirikan di Inggris tahun 1832, ternyata tujuannya bukan menantang, melainkan bekerjasama dengan Dinasti Stuart dan menguatkan posisi raja William III mencangkup : England, Skotlandia dan Irlandia. Di Amerika, kehadiran parpol yang bergabung dalam “Federalist” juga bertujuan memperkokoh posisi pemerintah Pusat (Federal) berkedok ‘persatuan dan kebersamaan’ agar tidak goyah dan dijegal oleh kekuatan Negara-negara bagian (state). Barulah kemudian muncul ‘Demokrat-Republik’ sebagai parpol alternatif untuk mengimbangi kekuatan ‘federalist’, walaupun pada tahun 1820, berpisah menjadi partai Demokrat dan Republik. Inilah yang membedakan falsafah pembentukan parpol antara dunia Timur dengan Barat.
          Supaya pasti, ketika Inggris dan USA punya parpol, Aceh sudah berdiri tegak sebagai suatu Negara yang megah, satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang berani menghadang dominasi portugis, Inggris, Belanda dan Amerika di Sumatra dan ketika Barat masih dalam kegelapan, Aceh sudah mengenal prinsip  ‘distribution and separation of power’ lewat ‘Aceh code dan iskandar muda code’, Adat bak bak Po-teumereuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun bak putroe Phang, reusam bak Bintara’, jauh mengawali dan mengungguli teori ‘trias politika’nya montes quieu (tahun 1689-1755). Kejayaan ‘aceh code dan iskandar muda code’ karena pemerintahan aceh tidak mengenal system kepartaian dan tidak mengekor kepada ajaran demokrasi (system kepartaian), walaupun aceh bersahabat kental dengan orang Barat, Aceh tahu menempatkan diri, bahkan dalam banyak hal, Barat banyak belajar dari konsep kekhilafahan Bani Umayyah, Abbasyiah, Oesmaniyah Turki dan Aceh yang masyhur selama ratusan tahun tanpa parpol.  
          Ketika ajaran demokrasi masuk ke ranah ketatanegaraan Negara-negara bekas jajahan, maka bersamaan dengannya muncul fenomena dalam system kepartaian (demokrasi) yang melahirkan sejumlah masalah. Misalnya : bangunan hukum islam, mustahil ditegakkan tanpa wujud suatu pemerintahan yang menghendakinya. Oleh sebab itu, muncul wacana mendirikan partai-partai berbasis islam, yang inginkan supaya syariat islam diatur dalam konstitusi Negara. Fenomena diatas akhirnya berubah menjadi dilema dan malapetaka dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, yakni, ketika PNI (Nasionalis), Masyumi, Perti (Islam) dan PKI (Komunis), mempertahankan masing-masing konsep dalam sidang konstituate, yang akhirnya gagal dan Mayumi pun dibubarkan oleh Soeharto, tidak membubarkan PNI & PKI, dan menamatkan sengketa ideology ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
          Dalam literatur islam, urusan pemerintah memang disinggung dalam suatu hadis “tidak ada agama tanpa kelompok, tidak ada kelompok tanpa pemimpin dan tidak ada pimpinan tanpa seorang pemimpin”. Dasar pijakan ini bersumber dari “manusia itu adalah umat yang satu”, (Q; surat Al-Baqarah, ayat 213), jadi konsep “ummatan wahidah” (kaum muslimin harus berada dalam sebuah ikatan kenegaraan) merupakan keharusan, bukan suatu keniscayaan. Karena belum ada penegasan tentang aplikasinya, maka Peter Mansfield menyimpulkan, islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah Negara. Namun, seluruh bangunan Islam bertumpu pada kekuasaan Negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jela, (History of the Middle East). Perkara ini mudah terlaksana  karena penguasa berkehendak,. Sementara itu, dalam masyarakat Plural tidak semudah dibayangkan, karena syarat dengan berbagai kepentingan golongan. Inilah konsekuensi logis dari kegagalan Masyumi (Perti dan PNI-PKI) sebab nama parpol bertopeng agama nasionalis dan ideologi yang bukan ideologi Negara. Lain halnya Partai Komunis Di Cina dan Rusia, dimana komunisme merupakn satu-satunya  ideologi Negara dan Rakyat, bahkan berhasil menduniakan komunisme lewat slogan lama, “semua orang adalah saudara” kepada slogan internasionalnya, “kaum bruruh sedunia, bersatulah” (kongres petama liga komunis di London tahun 1847), yang terang-terangan memperjuangkan ideologi komunisme, bukan ideology pembebasan yang mensejahterakan rakyat.
          Akhirnya, ke-29 parpol yang ikut bertanding dalam pemilu 1955, memakai nama dan simbol parpol bertopeng ideologi, nasionalis, organisasi keagamaan, patriotism dan slogan-slogan social-politik. Nama parpol yang buka-bukann ini berulang dalam pemilu 1971 yang diikuti 10 parpol , berulang kembali dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 yang diikuti oleh 3 parpol, 48 parpol dalam pemilu tahun 1999, 24 parpol dalam pemilu tahun 2004 dan 38 parpol dalam pemilu tahun 2009. Rakyat terjebak dalam proses pembodohan politik  lewat simbol-simbol parpol yang membinggungkan. Di Indonesia, proses pembodohan politik ini sudah berlangsung sejak tahun 1907, saat Haji Misbach mendirikan “insulinde”, partai berhaluan persatuan local dipulau jwa dan “indische partij” (partai Hindia) berhaluan “nasional-isme Hindia” yang didirikan oleh Douwes Dekker tahun 1911. Ini merupakan parpol dan nasionalisme yang bukan-bukan, yang membuat rakyat binggung.
          Anehnya politisi local aceh ikut mendirikan parlok dengan nama yang bukan-bukan, seperti, partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh, yang semuanya tidak jelas konsep, arah dan wawasan perjuangnya.
          Inilah kisah selintas mengenai sejarah parpol yang bertopeng suara rakyat. Tegasnya ketiadaan visi, missi, identitas kolektif yang jelas dan kontrak politik antara paarpol dan rakyat, akan memperpanjang masa kebodohan rakyat. Untuk itu demi mengelak dari wujudnya identitas/nama parpol yang bukan-bukan, maka saatnya rakyat bangkit mendirikan parlemen tanpa parpol, yakni, parlemen yang seluruh anggotanya merupakan refresentatif langsung dari suatu unit masyarakat tertentu, seperti, organisasi wanita, petani, nelayan, lembaga pendidikan, pemuda dan mahasiswa, pedagang, budayawan, organisasi keagamaan dan lembaga independen lainya. Hal ini selain memudahkan hubungan antara rakyat dan wakilnya di Parlemen, juga rakyat bebas menyuarakan ide protes dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada wakil-wakilnya, bila didapati berpikir sungsang.
          Lupakan saja parpol dari benak kita, konsentrasi dan bentuk organisasi profesi yang dimanaj secara propesional, dipimpin oleh orang berilmu, jujur, ikhlas, bertanggung jawab, dan berakhlaqul karimah untuk menduduki dan menguasai kursi parlemen yang akan dating. Jika jawabnya, mungkin, inilah langkah menghidupkan sejarah. Jika tidak, perpanjangkan masa kebodohan dan bernyanyilah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya.

                                                                                    Penulis adalah direktur institute for eathnics
                                                                                                Civilization Research, Denmark. 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites