Featured Video

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 10 Oktober 2011

gambar nazarudin

SUDAH DEMOKRASIKAH NEGARA INI ? ATAU DEMOKRASI HANYA NYANYIAN NEGERI INI ?

Demokrasi sering disebut “pemerintahan oleh opini publik”. Artinya pemerintah memberikan kebebasan terhadap masyarakatnya. Tapi kebebasan yang bagai mana yang sebenarnya ?
Seorang kritikus H.z. Mencken, pernah menggambarkan demokrasi dengan istilah yang tidak enak didengar, tapi kenyataan nya benar “demokrasi adalah seni dan ilmu menyelenggarakan sirkus dari kandang monyer”, artinya, bagaimanapun yang bakal kebinggungan bukan monyet-monyet itu, melainkan mereka yang merasa tau tentang apa itu sesungguhnya Demokrasi, tetapi mereka menggabaikannya. Jadi apa arti sebenarnya dari Demokrasi ?
Demokratia (kekuasaan rakyat) lahir menyusul revolusi rakyat di Yunani pada tahun 508 SM. Adalah benar dan semua orang pasti tau. Tetapi, pengalihan dari demokrasi sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa kepada demokrasi, dengan system kepartaian yang berkedok suara rakyat, dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya, jarang orang tau.
Dalam konsep demokrasi, kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, rakyat diberi kebebasan mutlak untuk bersuara. Rakyat lah yang dapat menentukan siapa pemimpin nya. Suara rakyat lah sebagai suara kedamaian.
Thomas hobbes (1588-1679) pernah mengatakan, rakyat mempunyai kekuasaan absolute. Teori ini juga yang kemudian melahirkan Negara-negara modern dan meruntuhkan kekuasaan raja-raja yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.
Indonesia adalah Negara yang menganut sistem Demokrasi, tetapi dibalik semua itu demokrasi hanya lah sebuah langkah pendek bagi pemerintah untuk menguasai rakyat serta demi melindungi rahasia-rahasia penting Negara. System dinegara ini sudah sangat morat marit (tidak jelas), Birokrasi pemerintahan nya masih mementingkan kepentingan pribadi, begitu juga hal nya dengan  partai politik nya, yang hanya mementingkan kepentingan kelompok nya dari pada rakyatnya.
Dimana letak demokrasi Negara ini ?,
Mungkin saat nya kita mempelajari histori Negara ini, saat runtuhnya rezim penguasa negeri ini “soeharto”. Arus kapitalis yang mulai menggakar cepat telah membuat jiwa social negeri ini memudar. Hilangnya jiwa social ini lah yang membangun keterpurukan, dimana semua orang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa memikirkan kepentingan orang banyak.
Negeri ini bagaikan surga bagi penguasa, dan neraka bagi rakyatnya, korupsi dan nepotisme terus Berjaya, wakil rakyat buta akan harta-hartanya, sedangkan rakyat terus menderita tak berdaya.
Berbagai peristiwa politik  pun ditanah air saat ini cenderung melingkar-lingkar, berputar di angkasa tanpa pernah menyentuh tanah, dari isu ke isu muncul silih berganti, tumpang tindih  tak tahu kapan akan berakhir. Belum selesai satu kasus muncul kasus yang lain, dengan menyisakan pertanyaan ironis. Setelah itu akan ada isu apa lagi ? apakah negeri ini sedang belajar berbicara, tetapi tidak mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas. Jika ini terus berlarut dan pemerintah tidak mendengarkan aspirasi rakyat nya, revolisi akan terjadi lagi dinegeri ini.
Mungkin, Untuk mewujudkan pemerintah yang demokratis, pemerintah harus mulai menerapkan system demokratis terlebih dahulu ditubuh partai, selain itu agar system bisa menyebar sampai kedesa-desa. Karena jika seseorang dapat memimpin sebuah desa dengan baik dan benar, maka mereka dapat pula mengatur sebuah wilayah dengan baik, bahkan mereka mampu mengatur sebuah kota dengan baik pula.
System demokrasi adalah benar untuk diterapkan dalam sebuah Negara, tetapi seiring system ini mulai menyebar luas, demokrasi di Indonesia hanya menjadi sebuah nyanyian Negara dan penguasa untuk melalaikan rakatnya.
SBY pernah menggigatkan “jangan ada dusta di antara kita” tapi lihat lah, kini siapa yang berdusta ?
Demokrasi hanya lah sebuah nyanyian Negara untuk melindungi otak-otak koruptor dinegeri ini.

Kamis, 23 Juni 2011

Mungkinkah ? Bila Negara tanpa Partai Politik

Demokratia (kekuasaan rakyat) lahir menyusul revolusi rakyat di Yunani pada tahun 508 SM. Adalah benar dan banyak orang tau. Tetapi, pengalihan dan pengaburan dari demokrasi sebagai perlawanan rakyat terhadap penguasa kepada demokrasi dengan system kepartai yang berkedok suara rakyat, dipakai untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan memperjuangkan hak rakyat yang diwakilinya, jarang orang tau.
          Bagaimana pun juga, filsafah pembentukan partai politik (parpol) didunia timur lebih menjiwai  demokrasi murni ala Yunani. Misalnya : Kuomintang (partai nasional cina) yang didirikan oleh Sun Yat-sen tahun 1894, bertujuan untuk melawan kekaisaran Qing  dan sekaligus mendirikan Republik cina demi terwujudnya pembaruan. Barulah kemudian dibentuk Partai Komunis Cina oleh Mao Zedong tahun 1921, sekaligus menduniakan Komunisme versi cina. Demikian pula parpol “Kongres Nasional India” India National Congres (INC) yang didirikan tahun 1885, bangkit dan menyatukan langkah melawan kuasa British di india.
          Sebaliknya, “Wigs” dan “Tory” (sekarang Partai konservatif) adalah dua parpol pertama didirikan di Inggris tahun 1832, ternyata tujuannya bukan menantang, melainkan bekerjasama dengan Dinasti Stuart dan menguatkan posisi raja William III mencangkup : England, Skotlandia dan Irlandia. Di Amerika, kehadiran parpol yang bergabung dalam “Federalist” juga bertujuan memperkokoh posisi pemerintah Pusat (Federal) berkedok ‘persatuan dan kebersamaan’ agar tidak goyah dan dijegal oleh kekuatan Negara-negara bagian (state). Barulah kemudian muncul ‘Demokrat-Republik’ sebagai parpol alternatif untuk mengimbangi kekuatan ‘federalist’, walaupun pada tahun 1820, berpisah menjadi partai Demokrat dan Republik. Inilah yang membedakan falsafah pembentukan parpol antara dunia Timur dengan Barat.
          Supaya pasti, ketika Inggris dan USA punya parpol, Aceh sudah berdiri tegak sebagai suatu Negara yang megah, satu-satunya Negara di Asia Tenggara yang berani menghadang dominasi portugis, Inggris, Belanda dan Amerika di Sumatra dan ketika Barat masih dalam kegelapan, Aceh sudah mengenal prinsip  ‘distribution and separation of power’ lewat ‘Aceh code dan iskandar muda code’, Adat bak bak Po-teumereuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun bak putroe Phang, reusam bak Bintara’, jauh mengawali dan mengungguli teori ‘trias politika’nya montes quieu (tahun 1689-1755). Kejayaan ‘aceh code dan iskandar muda code’ karena pemerintahan aceh tidak mengenal system kepartaian dan tidak mengekor kepada ajaran demokrasi (system kepartaian), walaupun aceh bersahabat kental dengan orang Barat, Aceh tahu menempatkan diri, bahkan dalam banyak hal, Barat banyak belajar dari konsep kekhilafahan Bani Umayyah, Abbasyiah, Oesmaniyah Turki dan Aceh yang masyhur selama ratusan tahun tanpa parpol.  
          Ketika ajaran demokrasi masuk ke ranah ketatanegaraan Negara-negara bekas jajahan, maka bersamaan dengannya muncul fenomena dalam system kepartaian (demokrasi) yang melahirkan sejumlah masalah. Misalnya : bangunan hukum islam, mustahil ditegakkan tanpa wujud suatu pemerintahan yang menghendakinya. Oleh sebab itu, muncul wacana mendirikan partai-partai berbasis islam, yang inginkan supaya syariat islam diatur dalam konstitusi Negara. Fenomena diatas akhirnya berubah menjadi dilema dan malapetaka dalam pemilu tahun 1955 di Indonesia, yakni, ketika PNI (Nasionalis), Masyumi, Perti (Islam) dan PKI (Komunis), mempertahankan masing-masing konsep dalam sidang konstituate, yang akhirnya gagal dan Mayumi pun dibubarkan oleh Soeharto, tidak membubarkan PNI & PKI, dan menamatkan sengketa ideology ini dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
          Dalam literatur islam, urusan pemerintah memang disinggung dalam suatu hadis “tidak ada agama tanpa kelompok, tidak ada kelompok tanpa pemimpin dan tidak ada pimpinan tanpa seorang pemimpin”. Dasar pijakan ini bersumber dari “manusia itu adalah umat yang satu”, (Q; surat Al-Baqarah, ayat 213), jadi konsep “ummatan wahidah” (kaum muslimin harus berada dalam sebuah ikatan kenegaraan) merupakan keharusan, bukan suatu keniscayaan. Karena belum ada penegasan tentang aplikasinya, maka Peter Mansfield menyimpulkan, islam memang sejak kelahirannya tidak mengemukakan konsep tentang sebuah Negara. Namun, seluruh bangunan Islam bertumpu pada kekuasaan Negara untuk mengatur kehidupan individu menurut garis-garis yang jela, (History of the Middle East). Perkara ini mudah terlaksana  karena penguasa berkehendak,. Sementara itu, dalam masyarakat Plural tidak semudah dibayangkan, karena syarat dengan berbagai kepentingan golongan. Inilah konsekuensi logis dari kegagalan Masyumi (Perti dan PNI-PKI) sebab nama parpol bertopeng agama nasionalis dan ideologi yang bukan ideologi Negara. Lain halnya Partai Komunis Di Cina dan Rusia, dimana komunisme merupakn satu-satunya  ideologi Negara dan Rakyat, bahkan berhasil menduniakan komunisme lewat slogan lama, “semua orang adalah saudara” kepada slogan internasionalnya, “kaum bruruh sedunia, bersatulah” (kongres petama liga komunis di London tahun 1847), yang terang-terangan memperjuangkan ideologi komunisme, bukan ideology pembebasan yang mensejahterakan rakyat.
          Akhirnya, ke-29 parpol yang ikut bertanding dalam pemilu 1955, memakai nama dan simbol parpol bertopeng ideologi, nasionalis, organisasi keagamaan, patriotism dan slogan-slogan social-politik. Nama parpol yang buka-bukann ini berulang dalam pemilu 1971 yang diikuti 10 parpol , berulang kembali dalam pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 yang diikuti oleh 3 parpol, 48 parpol dalam pemilu tahun 1999, 24 parpol dalam pemilu tahun 2004 dan 38 parpol dalam pemilu tahun 2009. Rakyat terjebak dalam proses pembodohan politik  lewat simbol-simbol parpol yang membinggungkan. Di Indonesia, proses pembodohan politik ini sudah berlangsung sejak tahun 1907, saat Haji Misbach mendirikan “insulinde”, partai berhaluan persatuan local dipulau jwa dan “indische partij” (partai Hindia) berhaluan “nasional-isme Hindia” yang didirikan oleh Douwes Dekker tahun 1911. Ini merupakan parpol dan nasionalisme yang bukan-bukan, yang membuat rakyat binggung.
          Anehnya politisi local aceh ikut mendirikan parlok dengan nama yang bukan-bukan, seperti, partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Daulat Aceh, Partai Suara Independen Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh, dan Partai Bersatu Aceh, yang semuanya tidak jelas konsep, arah dan wawasan perjuangnya.
          Inilah kisah selintas mengenai sejarah parpol yang bertopeng suara rakyat. Tegasnya ketiadaan visi, missi, identitas kolektif yang jelas dan kontrak politik antara paarpol dan rakyat, akan memperpanjang masa kebodohan rakyat. Untuk itu demi mengelak dari wujudnya identitas/nama parpol yang bukan-bukan, maka saatnya rakyat bangkit mendirikan parlemen tanpa parpol, yakni, parlemen yang seluruh anggotanya merupakan refresentatif langsung dari suatu unit masyarakat tertentu, seperti, organisasi wanita, petani, nelayan, lembaga pendidikan, pemuda dan mahasiswa, pedagang, budayawan, organisasi keagamaan dan lembaga independen lainya. Hal ini selain memudahkan hubungan antara rakyat dan wakilnya di Parlemen, juga rakyat bebas menyuarakan ide protes dan menyampaikan mosi tidak percaya kepada wakil-wakilnya, bila didapati berpikir sungsang.
          Lupakan saja parpol dari benak kita, konsentrasi dan bentuk organisasi profesi yang dimanaj secara propesional, dipimpin oleh orang berilmu, jujur, ikhlas, bertanggung jawab, dan berakhlaqul karimah untuk menduduki dan menguasai kursi parlemen yang akan dating. Jika jawabnya, mungkin, inilah langkah menghidupkan sejarah. Jika tidak, perpanjangkan masa kebodohan dan bernyanyilah, buat apa susah, susah itu tak ada gunanya.

                                                                                    Penulis adalah direktur institute for eathnics
                                                                                                Civilization Research, Denmark. 

mewwujudkan demokrasi diaceh


Demokrasi sering disebut “Pemerintahan Oleh Opini Publik” ini pernah dilukiskan oleh seorang Kritikus H.Z. Mencken, dengan istilah yang tidak enak didengar, ia melukiskan bahwa “Demokrasi adalah Seni dan Ilmu menyelenggarakan sirkus dari kandang monyet”, bagaimanapun, yang bakal kebingungan bukan monyet-monyet itu, melaikan mereka yang merasa tahu tentang apa itu sesungguhnya Demokrasi, tetapi mereka menggabaikannya.
Kredibilitas Pemimpin
Kemampuan para pemimpin politik berkomunikasi dengan masyarakat guna menampung keinginan rakyat sangat penting demi mewujudkan aceh yang sejahtera. Tetapi sama pentingnya Kredibilitas para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Sangat naïf jika saat ini kita mengharapkan pemerintah yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat.
Studi-studi menunjukan bahwa rendahnya Kualitas dan Efektifitas telah melahirkan dampak Multidimensional. Secara Social Politk, buruknya pelayanan pemerintah menimbulkan Erosi Kepercayaan dan Sinisme masyarakat terhadap pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan Ketertiban dan Kedamaian pada masyarakat.
Secara ekonomi, korupsi dan rendahnya Akuntabilitas Institusi Public bukan saja telah menggurangi anggaran pelayanan bagi masyarakat. Melaikan pula telah menghabat perekonomian.
Dalam konteks politik diaceh saat ini, mungkin perlu ditekankan ideologi-ideologi tradisonal yang mungkin saat ini dianggap tidak lagi relevan terhadap  masyarakat modern yang sekarang tingkat kemajuan teknologinya tinggi. Padahal ideologi-ideologi tradisional ini mampu meredam konflik-konflik yang ada.
Demokrasi
Terkait dengan Demokrasi, Gubernur Irwandi Yusuf dalam pidatonya pada peringatan maulid Nabi  Besar Muhammad SAW Dimesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh menggingatkan kita, untuk membangun kehidupan dibumi serambi mekkah yang lebih beradab, tataran kehidupan yang dicontohkan nabi harus diteladani, dijunjung tinggi Keadilan, Musyawarah, Penghormatan terhadap hak-hak kemanusian, dan Kebersamaan. “perilaku rasulullah menginspirasikan kita dalam mewujudkan Demokrasi diaceh.
Dari sisi penegakkan Demokrasi kita perlu nyali yang kuat dan pantang menyerah. Namun berpolitik atau berdemokrasi harus mengedepankan etika dan moral.
Dari sisi ini, problem internal yang terjadi, telah membuat Demokrasi Aceh sangat minim kualitasnya. Mulai dari kemenangan Gubernur Irwandi-Nazar dan sepuluh dari 23 daerah tingkat dua melalui jalur Independen pada Pilkada 2006/2007 adalah Akumulasi kerinduan masyarakat Aceh pada Era Baru yang lebih Reformasi, Damai dan Demokratis dengan lebih berbasis pada identitas (etno) Nasionalisme Aceh.
Perselingkuhan anatara Elit Aceh dan Pusat ditengah parahnya Transparansi, Akuntabilitas dan minimnya partisipasi masyarakat sipil mengawal pembangunan dan Demokrasi diaceh menyebabkan Aceh semakin terpuruk dan angka kemiskinan semakin bertambah.
Pemerintah Aceh bisa selalu beralasan, bahwa kemiskinan diaceh diakibatkan karna konflik panjang dan bencana tsunami yang pernah terjadi diaceh. Padahal acehlah satu-satunya provinsi dinegeri ini yang paling banyak menerima berbagai jenis dana. Mulai dari Dana Alokasi Umum, Alokasi Khusus, Otonomi Khusus, Hasil Migas, Bantuan Luar Negeri, hingga Dana Reintegrasi. Mestinya  semua dana ini sudah mampu menggurangi angka kemiskinan dan mensejahterakan masyarakat.
Jika terus terjadi kasus seperti ini jangan bermimpi Aceh akan maju, masyarakat Aceh terus dibuat bermimpi sedangkan pemerintah asyik akan jabatanya. Dimana letak Demokrasi kita ini ?
Untuk itu, demi mewujudkan Demokrasi di bumi Aceh ini, kita membutuhkan pemerintah yang Propesionalisme demi terciptanya Aceh yang sejahtera.

PENERAPAN KEBIJAKAN PELAYANAN PUBLIK BAGI MASYARAKAT DENGAN KEBUTUHAN KHUSUS


A.    LATAR BELAKANG

Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Ia tidak lagi merupakan aktivitas sambilan, tanpa payung hukum, gaji dan jaminan sosial yang memadai, sebagaimana terjadi di banyak negara berkembang pada masa lalu. Sebagai sebuah lembaga, pelayanan publik menjamin keberlangsungan administrasi negara yang melibatkan pengembangan kebijakan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya yang berasal dari dan untuk kepentingan publik. Sebagai profesi, pelayanan publik berpijak pada prinsip-prinsip profesionalisme dan etika seperti akuntabilitas, efektifitas, efisiensi, integritas, netralitas, dan keadilan bagi semua penerima pelayanan.
Menguatnya embusan globalisasi, demokratisasi, dan desentralisasi membawa peluang sekaligus tantangan tersendiri bagi pelayanan publik, khususnya pelayanan sosial bagi masyarakat dengan kebutuhan khusus.

1.      Kebijakan dan pelayanan publik

Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak.
Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga bagaimana bentuk layanan itu.
Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sedikitnya tiga hal:
1.      Adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan
2.      Kebijakan ini harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; dan
3.      Adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak
Dalam masyarakat otoriter kebijakan dan pelayanan publik seringkali hanya berdasarkan keinginan penguasa semata. Sehingga penjabaran tiga hal di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
Kemampuan para pemimpin politik berkomunikasi dengan masyarakat guna menampung keinginan mereka adalah penting. Tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat. Namun, adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya.

1.      Tantangan global

Saat ini tantangan utama negara-bangsa di seluruh dunia bukan lagi isu perang dingin. Melainkan meningkatnya kompleksitas kemiskinan, konflik etnis, penguatan demokrasi dengan segala resikonya, serta globalisasi ekonomi termasuk perubahan peran dan interaksi antara negara, pasar, dan masyarakat madani. Selain itu, aspirasi dan tuntutan masyarakat juga semakin meningkat akibat semakin terbukanya informasi dan meningkatnya kesadaran hak-hak warga negara.
Perubahan global ini telah mengubah lingkungan dimana pemerintahan beroperasi, menantang peran tradisional negara, dan memperkenalkan aktor-aktor baru pada proses pembangunan dan kepemerintahan (governance). Transformasi global ini juga menuntut reformulasi peran dan tanggung jawab para pegawai negeri sebagai pengelola sumber-sumber publik dan penjaga mandat kepercayaan masyarakat. Eskalasi perubahan global ini juga telah menimbulkan isu-isu moral seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, crony capitalism, “sweatheart deal” privatization, dan perilaku pemerintah yang tidak profesional dan etis lainnya.
Studi-studi menunjukkan bahwa rendahnya kualitas dan efektifitas pelayanan publik telah melahirkan dampak multidimensional. Secara sosial-politik, buruknya pelayanan publik menimbulkan erosi kepercayaan dan sinisme warga terhadap pemerintah yang pada gilirannya meruntuhkan ketertiban dan kedamaian pada masyarakat.
Secara ekonomi, korupsi dan rendahnya akuntabilitas institusi publik bukan saja telah mengurangi anggaran pelayanan bagi rakyat banyak. Melainkan pula telah menghambat perekonomian. Bukti-bukti empiris di banyak negara memperlihatkan bahwa korupsi memiliki dampak negatif yang signifikan dan luas terhadap investasi dan perdagangan. Sebaliknya, korupsi yang rendah memacu investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Analisis Regresi yang dilakukan Paul Mauro (1998) menunjukkan bahwa sebuah negara yang mampu memperbaiki indeks korupsinya, misalnya dari 6 ke 8 (0 adalah indeks korupsi tertinggi dan 10 terendah) mengalami peningkatan 4 persen dalam tingkat investasi dan 0,5 persen dalam pertumbuhan GDP tahunannya.

2.      Pergeseran paradigma

Sebagai bagian dari respon terhadap tantangan global di atas, telah terjadi pergeseran paradigma dalam pelayanan publik. Tiga pergeseran di bawah ini penting dicatat.
1.      Dari problems-based services ke rights-based services. Pelayanan sosial yang dahulunya diberikan sekadar untuk merespon masalah atau kebutuhan masyarakat, kini diselenggarakan guna memenuhi hak-hak sosial masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi nasional dan konvensi internasional.
2.      Dari rules-based approaches ke outcome-oriented approaches. Pendekatan pelayanan publik cenderung bergeser dari yang semata didasari peraturan normatif menjadi pendekatan yang berorientasi kepada hasil. Akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi menjadi kata kunci yang semakin penting.
3.      Dari public management ke public governance.
Menurut Bovaird dan Loffler (2003), dalam konsep manajemen publik, masyarakat dianggap sebagai klien, pelanggan atau sekadar pengguna layanan sehingga merupakan bagian dari market contract. Sedangkan dalam konsep kepemerintahan publik, masyarakat dipandang sebagai warga negara yang merupakan bagian dari social contract. Namun demikian, ini tidak b erarti bahwa paradigm baru menafikan sama sekali paradigma lama. Meski paradigma baru cenderung semakin menguat, diantara keduanya senantiasa ada persinggungan dan kadang saling mendukung.
3.      Situasi Indonesia

Pelayanan Publik di Indonesia cenderung memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan masih relatif rendah, pelayanan publik juga belum memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya. Selain itu, pelayanan publik di Indonesia juga belum responsif terhadap masyarakat dengan kebutuhan khusus, termasuk terhadap kelompok rentan, penyandang cacat, lanjut usia dan komunitas adat terpencil.
Sebagai contoh, nasib anak berkebutuhan khusus atau penyandang cacat di Indonesia, sangat memprihatinkan dan jauh tertinggal dibanding di negara Asia lainnya. Nasib mereka masih terpinggirkan hampir di semua sektor, mulai pendidikan, pekerjaan, hingga ketersediaan fasilitas publik yang bersahabat.
Diakui, memang sudah ada regulasi tentang penyandang cacat, yakni UU 4/1997 dan diperkuat lagi dengan UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang di dalamnya diatur soal anak-anak penyandang cacat. Namun, dalam kenyataannya instrumen legal ini belum dapat diimplementasikan secara efektif. Sejumlah aturan yang mengharuskan keberpihakan pada penyandang cacat tidak dipatuhi, baik oleh masyarakat, kalangan swasta maupun pemerintah sendiri.
Selain persoalan UU yang ada belum diimplementasikan sebagaimana mestinya, sehingga hanya menjadi dokumen belaka, anggota masyarakat juga masih banyak yang menganggap kelompok rentan dan berkebutuhan khusus sebagai orang yang tak layak masuk dalam ruang publik. Wujudnya, pandangan sinis hingga sikap yang secara langsung maupun tidak langsung mengeliminasi orang cacat atau lanjut usia dari kehidupan sosial.










B. PEMBAHASAN

1.      Peran Depsos

Depsos adalah lembaga pemerintah yang fungsi utamanya menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial. Pembangunan kesejahteraan sosial pada intinya merupakan seperangkat kebijakan, program dan kegiatan pelayanan sosial yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi sosial, perlindungan sosial dan pemberdayaan sosial guna meningkatkan kualitas hidup, kemandirian, dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat.
Sasaran utama pembangunan kesejahteraan sosial adalah kelompok-kelompok lemah dan kurang beruntung yang dikenal dengan istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) atau Pemerlu Pelayanan Sosial (PKS). Lima permasalahan sosial yang menjadi target Depsos mencakup kemiskinan, ketelantaran, kecacatan, keterasingan, dan ketunaan sosial. Dalam garis besar, penerapan kebijakan pelayanan sosial difokuskan pada lima
program, yaitu:
1.      Program pengembangan potensi kesejahteraan sosial, seperti organisasi sosial, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya memperluas jangkauan pelayanan sosial.
2.      Program peningkatan kualitas manajemen dan profesionalisme pelayanan sosial. Tujuan utamanya adalah meningkatnya mutu dan profesionalisme pelayanan sosial melalui pengembangan alternatif-alternatif strategi pekerjaan sosial, standardisasi dan legislasi pelayanan sosial.
3.      Program pengembangan keserasian kebijakan publik dalam penanganan masalah-masalah sosial. Tujuan utamanya adalah terwujudnya koordinasi dan jaringan kerja yang dapat meningkatkan sistem perlindungan dan ketahanan sosial masyarakat sehingga mereka mampu merespon gelagat dan dampak perubahan sosial di sekitarnya.
4.      Program pengembangan sistem informasi kesejahteraan sosial. Tujuannya adalah mengidentifikasi data dan informasi kesejahteraan sosial yang diperlukan bagi perumusan kebijakan sosial, mekanisme peringatan dini, dan koordinasi jaringan kelembagaan dalam mengendalikan masalah-masalah sosial.
5.      Program peningkatan peran serta masyarakat dan pengarusutamaan jender. Program ini bertujuan utnuk meningkatkan partisipasi publik dan peran lembaga-lembaga pemberdayaan perempuan.
2.      Pelayanan sosial bagi penyandang cacat

Kecacatan adalah hilangnya atau abnormalitasnya fungsi atau struktur anatomi, psikologi maupun fisiologi seseorang. Menurut Undang Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, penyandang cacat diklasifikasikan dalam tiga jenis kecacatan yaitu cacat fisik, cacat mental, serta cacat fisik dan mental yang dikenal dengan “cacat ganda”.
Kecacatan menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau gangguan yang mempengaruhi keleluasaan aktivitas fisik, kepercayaan dan haraga diri, hubungan antar manusia maupun dengan lingkungannya. Permasalahan sosial yang timbul dari kecacatan antara lain adalah ketidakberfungsian sosial, yakni kurang mampunya penyandang cacat melaksanakan peran-peran sosialnya secara wajar.
Masalah kecacatan juga akan semakin berat bila disertai dengan masalah kesejahteraan sosial lainnya seperti kemiskinan, keterlantaran dan keterasingan. Kondisi seperti ini menyebabkan hak penyandang cacat untuk tumbuh kembang dan berkreasi sebagaimana orang-orang yang tidak cacat tidak dapat terpenuhi.
Masalah yang masih dihadapi dalam kaitannya dengan pelayanan sosial bagi penyandang cacat adalah:
1.      Belum tersedianya data yang akurat dan terkini tentang karakteristik kehidupan dan penghidupan berbagai jenis penyandang cacat.
2.      Belum memadainya jumlah dan kualitas tenaga spesialis untuk berbagai jenis kecacatan.
3.      Terbatasnya sarana pelayanan sosial dan kesehatan serta pelayanan lainnya yang dibutuhkan oleh penyandang cacat, termasuk aksesibilitas terhadap pelayanan umum yang dapat mempermudah kehidupan penyandang cacat.
4.      Terbatasnya lapangan kerja bagi mereka.

Pelayanan sosial bagi penyandang cacat yang dilakukan Depsos meliputi:
1.      Pelayanan sosial di rumah (home care services) untuk konseling perlakuan dalam situasi rumah, terapi fisik, diagnosis dan perantara untuk penempatan dalam institusi sekolah, rujukan pelayanan rehabilitasi sosial, lapangan kerja, pelayanan alat bantu khusus bagi penyandang cacat dan aktivitas waktu luang.
2.      Pelayanan rehabilitasi dan dukungan untuk melaksanakan kehiduppan secara mandiri, meliputi usaha bimbingan fisik, mental, motorik dan mobilitas, terapi sikap dan perilaku.
3.      Jaminan perlindungan dan aksesibilitas terhadap pelayanan publik.
4.      Bimbingan terapi kerja, praktek belajar kerja serta pemberian bantuan usaha ekonomis produktif secara kelompok usaha bersama (KUBE) serta pengembangan budaya kewirausahaan.
5.      Standardisasi pelayanan sosial.
6.      Pengembangan sistem rujukan, advokasi dan pemberian kuota pekerjaan, serta bibimbingan resosialisasi dan penyaluran dengan mendayugunakan mekanisme Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK), Loka Bina Karya (LBK), Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) dan Pusat Pelatihan Keterampilan Kerja Penyandang Cacat serta lembaga pelayanan sosial lainnya.
7.      Selain itu, untuk meningkatkan apreasi masyarakat terhadap hak asasi penyandang cacat dilakukan penyuluhan dan peningkattan sensitivitas masyarakat terhadap kehidupan penyandang cacat, advokasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan dan latihan (Depsos, 2003).

3.      Pelayanan sosial bagi lanjut usia

Meningkatnya pendapatan masyarakat, membaiknya status kesehatan dan gizi masyarakat, dan perubahan pola hidup telah meningkatkan usia harapan hidup dan populasi lanjut usia di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (ageing structured population).
Jika pada tahun 1980, rata-rata penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun “hanya” sekitar 5,45 persen dari total penduduk. Maka pada tahun 1990 dan 2000, prosentasenya meningkat menjadi 6,29 persen dan 7,18 persen. Pada tahun 2010 dan 2020, prosentase lanjut usia diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 9,77 persen dan 11,34 persen dari keseluruhan penduduk Indonesia.
Tantangan utama yang dihadapi akibat meningkatnya jumlah lanjut usia, terutama mereka yang tidak potensial dan terlantar, adalah penyediaan perlindungan sosial baik yang bersifat formal maupun informal. Penyiapan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan fisik lanjut usia merupakan tantangan lain bagi mereka yang masih potensial.
Isu-isu lain yang terkait dengan kelanjut usiaan antara lain adalah:
1.      Belum adanya data lanjut usia yang akurat.
2.      Masih terjadinya duplikasi pelaksanaan program pelayanan sosial.
3.      Jumlah lembaga pelayanan sosial lanjut usia tidak sebanding dengan jumlah dan kompleksitas permasalahan lanjut usia.
4.      Kurangnya informasi mengenai program dan pelayanan sosial kepada masyarakat.
5.      Penyediaan aksesibilitas lanjut usia pada prasarana dan saranan umum masih sangat terbatas (Depsos, 2008).
Pelayanan sosial bagi lanjut usia yang dilakukan Depsos meliputi tiga sistem :
1.      Pelayanan sosial dalam panti (institutional-based services):
2.      Pelayanan sosial luar panti (community-based services):
3.      Pelayanan terobosan (uji coba)

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites